Artikel 2 : Apakah Kesempurnaan Segala Sesuatu Ada Dalam Allah ?
Keberatan 1 : Tampaknya kesempurnaan dari segala sesuatu tidak dalam Allah, karena Allah adalah sederhana, sebagaimana telah ditunjukkan di atas (P[3], A[7]); sedangkan kesempurnaan dari segala sesuatu adalah bermacam-macam dan banyak jumlahnya. Oleh karena itu kesempurnaan segala sesuatu tidak dalam Allah.
Keberatan 2 : Lebih lanjut, sesuatu yang saling bertentangan tidak dapat ada secara berdampingan. Sekarang, kesempurnaan dari segala sesuatu saling bertentangan satu sama lain, karena masing-masing hal menjadi sempurna melalui perbedaan khususnya. Tapi perbedaan-perbedaan tersebut, dimana “genera” dibagi menjadi beberapa bagian, dan darinya “species” berasal, adalah saling bertentangan satu sama lain. Maka karena hal-hal yang saling bertentangan tidak dapat ada secara berdampingan dalam satu subjek, tampaknya kesempurnaan segala sesuatu tidak dalam Allah.
Keberatan 3 : Lebih lanjut, suatu makhluk hidup adalah lebih sempurna daripada benda-benda lain yang sekedar ada, dan suatu makhluk berakal adalah lebih sempurna daripada makhluk hidup yang tidak berakal. Maka hidup adalah lebih sempurna daripada ada, dan pengetahuan adalah lebih sempurna daripada hidup. Tapi esensi Allah adalah keberadaan-Nya itu sendiri. Maka kesempurnaan hidup, pengetahuan dan kesempurnaan-kesempurnaan lainnya tidaklah dalam Allah.
Sebaliknya, Dionysius mengatakan (Div. Nom. V) bahwa “Allah dalam keberadaan-Nya memiliki segala hal”.
Aku menjawab bahwa, Segala kesempurnaan ciptaan ada dalam Allah. Maka Ia dikatakan sebagai sempurna secara universal, karena Ia tidak kekurangan (seperti dikatakan oleh sang Commentator, Metaph.v) segala jenis keunggulan yang dapat ditemukan dalam setiap genus. Hal tersebut dapat dilihat dengan dua pertimbangan. Pertama, karena kesempurnaan apapun yang ada dalam suatu efek harus dapat ditemukan juga dalam kausa efektifnya, entah dalam formalitas yang sama, jika berhubungan dengan suatu agen yang serupa - seperti jika manusia mereproduksi manusia; atau dalam suatu derajad yang lebih unggul, jika berhubungan dengan agen yang tidak serupa – maka segala keserupaan dalam matahari dihasilkan oleh tenaga matahari. Sekarang telah jelas bahwa suatu efek ada terlebih dahulu dalam suatu kausa efisien, dan meskipun untuk menjadi ada dalam suatu potensialitas dari suatu kausa material adalah berarti menjadi ada dalam cara yang kurang sempurna, karena materia semacam itu adalah tidak sempurna, dan suatu agen semacam itu adalah sempurna, tetap saja cara keberadaan seperti itu dalam suatu kausa efisien bukannya kurang sempurna, tetapi lebih sempurna. Maka, karena Allah adalah kausa efektif pertama dari segala sesuatu, kesempurnaan segala sesuatu harus telah ada dalam Allah dalam suatu cara yang lebih unggul. Dionysius secara tidak langsung menyatakan jalur argument yang sama dengan mengatakan tentang Allah (Div. Nom.v) : “Allah bukanlah tentang ini atau itu, tetapi Allah adalah segala, sebagai kausa dari segala.” Kedua, dari apa yang telah dibuktikan, Allah adalah keberadaan itu sendiri, ada dari diri-Nya sendiri (P[3], A[4]). Konsekuensinya, dalam Dia harus terdapat segala kesempurnaan dari keberadaan, karena adalah jelas bahwa jika suatu benda panas tidak memiliki segala kesempurnaan dari panas, ini adalah karena panas tersebut tidak ada dalam kepenuhan kesempurnaannya. Tapi jika panas ini menjadi ada dengan sendirinya, maka panas tersebut tidak memerlukan lagi nilai-nilai dari panas. Maka karena Allah adalah keberadaan yang ada dengan sendirinya itu sendiri, Ia tidak memerlukan kesempurnaan lain dalam hal keberadaan. Sekarang, segala kesempurnaan dari ciptaan ada dalam kesempurnaan keberadaan, karena segala sesuatu mennjadi sempurna, tepat karena segala sesuatu tersebut memiliki keberadaan. Maka tidak ada kesempurnaan apapun dari hal-hal tersebut yang diperlukan ada dalam Allah. Jalur argument ini juga diimplikasikan oleh Dionysius (Div.Nim.v), ketika ia mengatakan bahwa, “Allah ada tidak dalam satu jenis cara keberadaan, tapi dalam Dia secara absolute terdapat segala keberadaan, tanpa batasan, dan secara seragam;” dan kemudia ia menambahkan bahwa, “Allah adalah keberadaan itu sendiri bagi hal-hal lain.”
Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Meskipun matahari (sebagaimana disebutkan oleh Dionysius, (Div.Nom.v)), tetap satu dan bersinar secara merata, di dalamnya terkandung secara merata substansi pertama dari hal-hal indrawi, serta banyak kualitas yang berbeda. Secara “a fortiori” seharusnya segala jenis kesatuan alami telah ada dalam kausa dari segala sesuatu, dan dengan demikian hal-hal yang berbeda dan dalam diri mereka sendiri saling bertentangan, telah ada dalam Allah sebagai suatu kesatuan, tanpa mencederai kesederhanaan-Nya. Ini cukup unutk menanggapi Keberatan 2.
Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Dionysius juga menyatakan (Div.Nom.v) bahwa, meskipun ada adalah lebih sempurna dari hidup, dan hidup lebih sempurna dari kebijaksanaan, jika hal-hal tersebut dianggap sebagai gagasan-gagasan yang berbeda, namun, suatu makhluk hidup adalah lebih sempurna dari apa yang hanya sekedar ada, karena makhluk hidup selain ada juga hidup, sedangkan makhluk berakal lebih sempurna dari makhluk hidup karena selain hidup ia juga berakal. Maka meskipun dalam keberadaan tidak terkandung di dalamnya kehidupan dan kebijaksanaan, karena apa yang ada tidak harus memiliki segala mode dari keberadaan, namun dalam keberadaan Allah terkandung hidup dan kebijaksanaan, karena dalam Allah sebagai keberadaan yang ada dari diri-Nya sendiri telah terkandung segala kesempurnaan keberadaan.
>>Selanjutnya