Bagian I Pertanyaan 1 Artikel 6

Artikel 6 : Apakah Doktrin Ini Sama dengan Kebijaksanaan?

Keberatan 1 : Tampaknya bahwa doktrin ini tidak sama dengan kebijaksanaan, karena tidak ada doktrin yang prinsip-prinsipnya bukan dari dirinya sendiri, layak menyandang nama kebijaksanaan; dengan memperhatikan bahwa orang yang bijak mengarahkan, dan tidak mengarahkan (Metaph. i). Tetapi prinsip-prinsip Doktrin ini bukan dari ditinya sendiri. Oleh karena itu Ilmu ini bukanlah kebijaksanaan.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, adalah bagian dari kebijaksanaan untuk membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya. Karena itu kebijaksanaan disebut kepala ilmu, seperti yang jelas dalam Ethic. VI. Tetapi Doktrin ini tidak membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama dengan kebijaksanaan.

Keberatan 3: Lebih jauh lagi, doktrin ini diperoleh melalui studi, sedangkan kebijaksanaan diperoleh dari inspirasi Allah, sehingga kebijaksanaan termasuk di antara karunia dari Roh Kudus (Yes. 11: 2). Oleh karena itu Doktrin ini tidaklah sama dengan kebijaksanaan.

Sebaliknya, ada tertulis (Ul 4: 6): "sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa."

Aku menjawab bahwa, Doktrin ini adalah kebijaksanaan di atas semua kebijaksanaan manusia; bukan hanya dalam hal urutan, tapi benar-benar secara mutlak. Karena seperti tugas dari orang bijak untuk mengatur dan untuk menilai, dan karena hal-hal yang lebih rendah harus dinilai dalam terang dari beberapa prinsip yang lebih tinggi, dia dikatakan bijaksana dalam urutan tertentu oleh orang yang menganggapnya tertinggi dalam urutan tersebut: dengan demikian dalam tata bangunan, dia yang merencanakan bentuk rumah disebut bijaksana dan perencana, dalam posisi berlawanan terhadap buruh rendah yang memotong kayu dan menyiapkan batu: " aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar" (1 Korintus 3: 10). Sekali lagi, dalam urutan semua kehidupan manusia, seseorang disebut bijaksana, sejauh ia mengarahkan tindakan kepada akhir yang tepat: "Berlaku cemar adalah kegemaran orang bebal, sebagaimana melakukan hikmat bagi orang yang pandai" (Amsal 10: 23). Oleh karena itu dia yang benar-benar mempertimbangkan penyebab tertinggi seluruh alam semesta, yaitu Allah, sebagian besar disebut bijaksana. Maka kebijaksanaan dikatakan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang ilahi, seperti dikatakan Agustinus (De Trin. xii, 14). Tetapi Doktrin Suci pada dasarnya membahas Allah yang dipandang sebagai penyebab tertinggi---tidak hanya sejauh ia dapat diketahui melalui ciptaan sebagaimana para filsuf mengenal-Nya---" Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka" (Roma 1: 19)---tetapi juga sejauh Ia dikenal oleh Diri-Nya sendiri dan diungkapkan kepada ciptaan. Oleh karena itu Doktrin Suci terutama disebut kebijaksanaan.

Tanggapan terhadap Keberatan 1: Doktrin Suci memperoleh prinsip-prinsipnya tidak dari pengetahuan manusia, tetapi dari pengetahuan ilahi, yang melaluinya, seperti melalui kebijaksanaan tertinggi, semua pengetahuan kita diurutkan.

Tanggapan terhadap Keberatan 2: Prinsip-prinsip ilmu lainnya entah berada dalam posisi jelas ataukah tidak dapat dibuktikan, atau dibuktikan oleh nalar alami melalui beberapa ilmu lainnya. Tapi pengetahuan yang tepat dari Doktrin ini datang melalui Wahyu dan tidak melalui nalar alami. Oleh karena itu Doktirn ini tidak memiliki kepentingan untuk membuktikan prinsip-prinsip ilmu-ilmu lainnya, tapi hanya untuk menilai mereka. Apa pun yang ditemukan dalam ilmu-ilmu lainnya, yang bertentangan dengan kebenaran apapun dari Doktrin ini harus dikutuk sebagai palsu: " yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah" (bdk. 2 Korintus 10: 4, 5).

Tanggapan terhadap Keberatan 3: Karena tindakan menilai tergolong dalam kebijaksanaan, dua macam cara menilai menghasilkan dua macam kebijaksanaan. Seorang pria dalam satu cara dapat menilai dengan kecenderungan, sebagaimana siapa saja yang terbiasa bergaul dengan kebajikan, menilai dengan benar menurut kecenderungan kebajikannya itu mengarahkannya kesana. Maka, orang yang salehlah, seperti yang kita baca, yang ditempatkan sebagai ukuran dan aturan terhadap tindakan manusia. Di lain pihak, lewat pengetahuan, seperti seseorang yang telah belajar dalam ilmu moral, mungkin mampu menilai dengan benar tindakan-tindakan yang saleh, meskipun ia tidak memiliki kebajikan. Cara pertama di atas dalam menilai hal-hal yang ilahi, berasal dari kebijaksanaan yang diberikan di antara karunia-karunia dari Roh Kudus: "manusia rohani menilai segala sesuatu" (1 Korintus 2: 15). Dan Dionysius mengatakan (Div. Nom. ii): "Hierotheus diajar bukan hanya melalui usaha belajarnya, tetapi melalui pengalaman terhadap hal-hal ilahi." Cara kedua di atas adalah milik dari Doktrin ini yang diperoleh melalui studi, meskipun prinsip-prinsipnya diperoleh melalui pewahyuan.