Tour of Summa | Bagian I Pertanyaan 12: Bagaimana Kita Bisa Mengenal Allah

12. Bagaimana Kita Bisa Mengenal Allah

Artikel 1. Sesuatu bisa diketahui sejauh itu aktual. Karena Allah sangat aktual, Allah sangat bisa diketahui. Allah memang tidak dikenal oleh setiap pikiran, meskipun pikiran normal tidak bisa menjadi dewasa tanpa setidaknya [memiliki] beberapa pengetahuan samar tentang Allah sebagai kekuatan universal atau pengontrol dunia. Mereka yang mengatakan bahwa manusia tidak dapat benar-benar mengenal Allah adalah salah. Ajaran mereka bertentangan dengan dorongan alami pikiran untuk memahami kebenaran dan untuk mengetahui penyebab berbagai hal, termasuk Penyebab Pertama. Selain itu, kita tahu dengan iman bahwa yang diberkati di surga benar-benar melihat esensi Allah.

Artikel 2. Untuk melihat Allah di surga, intelek [atau nalar] yang diciptakan membutuhkan daya tambahan khusus yang mengangkat dan memperkuatnya.

Artikel 3. Mata jasmani tidak dapat melihat esensi Allah yang bukan jasmani. Perasaan batin imajinasi juga tidak dapat membentuk gambaran tentang Allah; yang tak terbatas tidak ditampilkan dalam citra-indra yang terbatas. Hanya pikiran, nalar, yang dapat melihat Allah.

Artikel 4. Dan nalar membutuhkan lebih dari kekuatan alaminya sendiri jika ingin melihat esensi ke-Allahan itu sendiri. Allah harus sedemikian rupa meninggikan dan menggabungkan nalar [manusia] dengan diri-Nya sendiri sehingga ia dapat melihat-Nya: "Dalam terang-Mu kami akan melihat terang" (Mzm 35:10).

Artikel 5. Persatuan Allah dan nalar ini dilakukan di surga oleh suatu karunia supernatural atau anugerah yang disebut lumen gloriae, yaitu cahaya kemuliaan.

Artikel 6. Semakin sempurna jiwa dalam kasih, yaitu dalam kasih karunia, cinta, dan persahabatan dengan Allah, semakin sempurna ia memandang Allah di surga. Tingkat kasih di dalam jiwa yang diberkati menentukan ukuran cahaya kemuliaan yang diberikan padanya.

Artikel 7. Dengan bantuan cahaya kemuliaan jiwa di surga melihat Allah sendiri dengan jelas dan benar. Ini, tentu saja, bukanlah tampilan yang menyeluruh [tentang Allah]; jiwa tidak bisa memahami semua [hal] yang bisa dimengerti di dalam Allah; Allah tidak dapat dimengerti tanpa batas, dan jiwa itu terbatas.

Artikel 8. Oleh karena itu jiwa di surga, yang melihat Allah melalui cahaya kemuliaan, tidak melihat semua yang Allah lakukan dan bisa lakukan; ini berarti sungguh pencakupan terhadap yang tak terbatas oleh pikiran yang terbatas, suatu kontradiksi yang nyata dan suatu ketidakmungkinan.

Artikel 9. Dengan cahaya kemuliaan jiwa di surga melihat Allah sendiri dan bukan hanya rupa atau gambar Allah. Jiwa melihat esensi ilahi secara langsung, secara intuitif.

Artikel 10. Pengetahuan tentang Allah yang dinikmati oleh jiwa yang diberkati di surga tidak sedikit demi sedikit tetapi lengkap dan seketika itu juga. Ini bukan serangkaian tampilan. Jiwa melihat Allah dengan jelas dan benar, dan semua yang dilihatnya terlihat [olehnya secara] sekaligus.

Artikel 11. Esensi Allah sebagaimana terlihat dalam terang kemuliaan merupakan visi beatifik. Ini adalah pahala penting dari yang diberkati di surga. Manusia tidak dapat memiliki visi beatifik di bumi ini. Di sini [di bumi], meskipun kita benar-benar dapat mengenal Allah, kita tidak dapat memiliki pandangan langsung dan intuitif tentang esensi-Nya.

Artikel 12. Dalam kehidupan sekarang kita menggunakan kekuatan nalar alami kita, yaitu kekuatan pikiran yang berpikir, untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang keberadaan, sifat, dan atribut Allah. Ini adalah pengetahuan esensial tentang Allah, tetapi ini bukan pandangan langsung terhadap esensi ilahi itu sendiri.

Artikel 13. Pengetahuan tentang Allah yang dapat kita peroleh dengan penalaran alami sangat ditingkatkan oleh iman dan wahyu ilahi. Jadi dalam kehidupan duniawi sekarang kita bisa mengenal Allah dengan akal, dengan iman, dengan wahyu.