Bagian I Pertanyaan 3 Artikel 1

Pertanyaan 3 : Tentang Ketunggalan Allah (Delapan Artikel)


Ketika keberadaan suatu hal telah dipastikan masih ada pertanyaan lebih lanjut tentang cara keberadaannya, agar kita dapat tahu esensinya. Sekarang, karena kita tidak tahu seperti apakah Allah itu, melainkan apa yang bukan Allah. Kita tidak memiliki sarana untuk mempertimbangkan bagaimana Allah itu, melainkan bagaimana yang bukan Allah itu. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan:


  1. Bagaimana yang bukan Ia;

  2. Bagaimana Ia dikenal oleh kita;

  3. Bagaimana Ia disebut.


Sekarang dapat ditunjukkan bagaimana yang bukan Allah, dengan menyangkal pemahaman apapun yang bertentangan dengan gagasan tentang-Nya, yaitu pemahaman tentang komposisi, gerak, dan sejenisnya. Oleh karena itu


  1. Kita harus membahas ketunggalan-Nya, dimana kita menyangkal adanya komposisi pada-Nya; dan karena apa pun yang tunggal dalam hal-hal materia adalah tidak sempurna dan merupakan bagian dari sesuatu yang lain, maka kita akan membahas:
  2. Kesempurnaan-Nya;
  3. Kekekalan-Nya;
  4. Kemahakuasaan-Nya;
  5. Kesatuan-nya.

Tentang ketunggalan-Nya, ada delapan poin penyelidikan:


  1. Apakah Allah adalah suatu tubuh?

  2. Apakah Ia terdiri dari materia dan forma?

  3. Apakah dalam diri-Nya ada komposisi hakekat, esensi atau sifat, dan subjek?

  4. Apakah Ia terdiri dari esensi dan keberadaan?

  5. Apakah Ia terdiri dari genus dan perbedaan?

  6. Apakah Ia terdiri dari subjek dan aksiden?

  7. Apakah Ia dengan cara apapun adalah komposit, atau sepenuhnya tunggal?

  8. Apakah Ia berkomposisi dengan hal-hal lain?




Artikel 1 : Apakah Allah adalah Suatu Zat?

Keberatan 1 : Tampaknya Allah adalah suatu zat karena zat adalah sesuatu yang memiliki tiga dimensi. Tetapi Kitab Suci mengatribusikan tiga dimensi kepada Allah, sebab ada tertulis: " Tingginya seperti langit--apa yang dapat kaulakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati--apa yang dapat kauketahui? Lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas dari pada samudera"(Ayub 11: 8, 9). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.


Keberatan 2 : Lebih lanjut, segala sesuatu yang memiliki bentuk adalah suatu zat, karena bentuk adalah kualitas dari suatu kuantitas. Tetapi Allah tampaknya memiliki bentuk, sebab ada tertulis: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita" (Kej. 1: 26). Sekarang, bentuk disebut sebagai gambar, menurut teks: " Yang menjadi kecemerlangan kemuliaan dan wujud-Nya" yaitu gambaran, "dari substansi-Nya" (Ibrani 1: 3). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.


Keberatan 3 : Lebih lanjut, apa pun memiliki bagian jasmani adalah suatu zat. Sekarang, Kitab Suci mengatribusikan bagian jasmani kepada Allah. " Apakah lenganmu seperti lengan Allah?" (Ayub 40:4); dan " Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar" (Mazmur 33:16); dan " tangan kanan TUHAN berkuasa meninggikan" (Mazmur 117:16). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.


Keberatan 4 : Lebih lanjut, postur hanyalah milik dari zat. Tetapi dalam Kitab Suci Allah diandaikan memiliki postur : "Aku melihat Tuhan duduk" (Yes 6: 1), dan " TUHAN mengambil tempat untuk menuntut dan berdiri untuk mengadili bangsa-bangsa" (Yes 3: 13). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.


Keberatan 5 : Lebih lanjut, hanya zat atau benda jasmani yang dapat menggunakan istilah yang berhubungan dengan lokasi "darimana" atau "kemana" Tapi dalam Kitab Suci Allah disebut menggunakan istilah-istilah local “pada” menurut kata-kata, " Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri" (Mazmur 33:6), dan sebagai istilah "dari": orang-orang yang menyimpang dari pada-Mu akan dilenyapkan di negeri" (Yeremia 17: 13). Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.


Sebaliknya, Ada ditulis dalam Injil Yohanes (Yoh 4: 24): "Allah adalah Roh."


Aku menjawab, Adalah sungguh benar bahwa Allah bukanlah suatu zat; dan ini akan ditampilkan dalam tiga cara. Pertama, karena zat tidak bergerak kecuali itu digerakkan, sebagaimana jelas dalam hal induksi. Sekarang telah sudah terbukti (P[2], A[3]), bahwa Allah adalah Penggerak pertama, dan Ia tak tergerakkan. Oleh karena itu sangat jelas bahwa Allah bukanlah suatu zat. Kedua, karena keberadaan yang pertama harus ada dalam aktualitas, bukannya potesialitas. Karena walaupun dalam setiap hal yang berproses dari potensialitas menuju aktualitas, potensialitas selalu mendahului aktualitas, tetapi, tepatnya, aktualitas ada sebelum potensialitas, karena apapun yang ada dalam potensialitas dapat direduksi menjadi aktualitas hanya oleh suatu keberadaan yang berada dalam aktulitas. Sekarang telah dibuktikan bahwa Allah adalah Keberadaan yang pertama. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa Tuhan harus ada dalam potensialitas apapun. Tapi setiap zat ada dalam potensialitas karena ia terus berada dalam potensialitas yang tak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa Allah harus berupa zat. Ketiga, karena Allah adalah yang paling mulia dari segala keberadaan. Sekarang tidaklah mungkin bagi zat untuk menjadi yang paling mulia dari segala keberadaan karena zat harus selalu dalam keadaan dapat bergerak ataupun tidak dapat bergerak; dan zat yang dapat bergerak adalah lebih mulia dari zat yang tak dapat bergerak. Tapi zat yang dapat bergerak tidak secara tepat bergerak sebagai satu zat, karena jika demikian maka seluruh zat pada saat yang bersamaan akan bergerak. Oleh karena gerakannya tergantung dari benda lain, seperti tubuh kita bergerak tergantung dari jiwa kita. Maka sesuatu yang menggerakkan zat adalah lebih mulia dari zat. Dengan demikian tidaklah mungkin bahwa Allah adalah suatu zat.


Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Seperti yang telah kita bahas di atas (P [1], A[9]), Kitab Suci menjelaskan bagi kita hal-hal spiritual dan Ilahi dalam perbandingan dengan hal-hal jasmani. Oleh karena itu, ketika hal-hal tiga dimensi tentang makhluk jasmani itu diatribusikan kepada Allah, ini menyiratkan kuantitas-Nya yang sesungguhnya. Dengan demikian, tentang kedalaman, hal itu menandakan kekuatan-Nya untuk mengetahui hal-hal tersembunyi; tentang ketinggian, adalah tentang kekuasaan-Nya yang teramat luar biasa; tentang panjang, adalah tentang durasi keberadaan-Nya; tentang luas, adalah tentang tindakannya cinta-Nya untuk semua. Atau, seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. ix), dengan kedalaman Allah yang dimaksudkan adalah ketidakdapatdimengertian tentang esensi-Nya; dengan panjang, adalah prosesi semua kuasa-Nya; dengan luas, adalah Ia menjangkau segala sesuatu, sebab segala sesuatu berada di bawah perlindungan-Nya.


Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Manusia dikatakan sebagai gambar Allah, tidak mengenai tubuhnya, tetapi sehubungan dengan bagaimana ia mengungguli hewan lainnya. Oleh karena itu, ketika dikatakan, "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita", ada ditambahkan, "dan biarkan Dia berkuasa atas ikan di laut" (Kej. 1: 26). Sekarang manusia unggul atas semua hewan oleh nalar dan akalnya; maka dalam hal memiliki akal dan nalar, yang bukan merupakan hal-hal jasmani, manusia dikatakan serupa dengan gambar Allah.


Tanggapan terhadap Keberatan 3 : Hal-hal jasmani diatribusikan kepada Allah dalam Kitab Suci untuk menyatakan tindakan-Nya, dan ini adalah karena paralel tertentu. Misalnya tindakan mata adalah untuk melihat; maka mata yang dikaitkan dengan Allah menandakan kekuasaan melihat melalui akal, bukannya indrawi; dan seterusnya dengan hal-hal lain.


Tanggapan terhadap Keberatan 4 : Apapun yang berkenaan dengan postur, juga, hanya diatribusikan kepada Allah dengan semacam paralel. Ia disebut duduk karena ketaktergerakkan-Nya dan dominasi-Nya; dan sebagai berdiri, karena kekuasaan-Nya melampaui apa pun yang ada dihadapan-Nya.


Tanggapan terhadap Keberatan 5 : Kita menghampiri Allah bukan melalui langkah jasmani, karena ia ada di mana-mana, tetapi dengan jiwa kita, dan dengan tindakan jiwa yang sama kita undur dari-Nya; dengan demikian, untuk mendekat atau undur dari-Nya hanya menandakan tindakan rohani, berdasarkan metafora terhadap tindakan bergerak.