Bagian I Pertanyaan 3 Artikel 5

Artikel 5 : Apakah Allah Termasuk dalam Suatu Genus?


Keberatan 1 : Tampaknya Allah termasuk dalam suatu genus, karena suatu substansi adalah suatu keberadaan yang ada pada dirinya sendiri. Tetapi Allah ada dalam diri-Nya sendiri. Oleh karena itu Allah ada dalam genus substansi.

Keberatan 2 : Lebih lanjut, tidak suatupun dapat diukur kecuali oleh genusnya sendiri; seperti panjang diukur dengan panjang dan angka oleh angka. Tetapi Allah adalah ukuran dari segala substasnsi, seperti ditunjukkan oleh Komentator (Metaph. x). Oleh karena itu Allah termasuk dalam genus substansi.

Sebaliknya, Dalam pikiran, genus telah ada sebelum sesuatu yang terkandung di dalamnya ada. Tapi tidak ada sesuatupun yang ada, baik secara nyata maupun hanya dalam pikiran. Oleh karena itu Allah tidak terkandung dalam genus apapun.

Aku menjawab bahwa, Sesuatu dapat ada dalam suatu genus dengan dua cara; secara absolute dan secara tatanan, seperti suatu spesies yang terkandung dalam suatu genus; atau seperti sesuatu yang direduksi hingga menuju suatu genus, seperti suatu principal dan suatu kekurangan. Sebagai contoh, suatu titik dan suatu kesatuan direduksi ke dalam genus kuantitas sebagai prinsipalnya; Sementara kebutaan dan semua kekurangan lain yang dimasukkan dalam untuk genus kondisi. Tapi dalam cara apapun Allah tidak termasuk dalam suatu genus. Bahwa Ia tidak dapat menjadi suatu spesies dari suatu genus dapat ditunjukkan dalam tiga cara. Pertama, spesies dihasilkan dari genus dan perbedaan. Sekarang, perbedaan yang darinya suatu spesies diketahui, selalu berhubungan dengan sesuatu yang darinya suatu genus berasal, seperti aktualitas yang dihubungkan dengan potensialitas. Karena binatang berasal dari suatu hakikat yang mampu mengindera, sebagai suatu perwujudan dari hakikat tersebut, karena binatang adalah sesuatu yang mempunyai kemampuan untuk mengindera. Makhluk rasional, di sisi lain, dikelompokkan dalam hakikat berakal, karena sesuatu disebut rasional, jika memiliki akal, dan akal dibandingkan dengan rasa, seperti aktualitas dibandingkan dengan potensialitas. Argumen yang sama berlaku baik dalam hal-hal lain. Maka karena dalam Allah tidak terdapat potensialitas yang berubah menjadi aktualitas, adalah mustahil bahwa Allah harus berada di bawah genus sebagai suatu spesies. Kedua, karena keberadaan Allah adalah sekaligus esensi-Nya. Jika Allah berada di bawah suatu genus, Ia seharusnya berada di bawah genus "keberadaan". Karena genus dipredikasikan sebagai suatu hal yang esensial, maka genus berhubungan dengan esensi dari suatu hal. Tapi sang Filsuf telah menunjukkan (Metaph. iii) bahwa “keberadaan” tidak dapat menjadi suatu genus, karena setiap genus memiliki esensi yang berbeda. Sekarang, keberadaan tidak memilik pembeda dengan hal lain, karena ketidakberadaan tidak dapat dijadikan suatu pembeda. Dengan demikian Allah yang tidak termasuk dalam genus apapun. Ketiga, karena hal-hal yang berada dalam satu genus memiliki kesamaan hakekat atau esensi dari genus yang dipredikasikan pada mereka, tetapi hal-hal tersebut saling berbeda dalam keberadaan mereka, karena keberadaan manusia dan kuda tidaklah sama; juga keberadaan orang ini dan orang itu tidaklah sama. Maka dalam setiap anggota genus, keberadaan harus berbeda dengan hakekat---yaitu esensinya. Tapi dalam Allah keberadaan dan esensi tidaklah berbeda, seperti yang telah ditunjukkan dalam artikel sebelumnya. Oleh karena itu jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam genus apapun, seolah-olah Ia adalah suatu spesies. Dari ini juga jelas bahwa Ia tidak memiliki genus atau pembeda, tidak juga ada definisi tentang-Nya; tidak juga ada pembuktian tentang-Nya, kecuali lewat efek-efek-Nya, karena suatu definisi berhubungan dengan genus dan pembeda, dan suatu pembuktian hanya bisa terjadi melalui definisi. Bahwa Allah tidak memiliki suatu genus sebagai principal-Nya,adalah jelas dari hal berikut, bahwa suatu principal yang dapat direduksi ke dalam suatu genus tidak akan menjangkau hal-hal di luar genus tersebut, seperti suatu titik hanya merupakan principal dari kuantitas berkesinambungan, sedangkan untuk kuantitas tak berkesinambungan ada di bawah principal kesatuan. Tetapi Allah adalah principal dari segala sesuatu. Oleh karena itu Ia tidak terdapat dalam genus apapun sebagai principal-Nya.

Tanggapan terhadap Keberatan 1 : Kata “substansi” tidak hanya mengacu pada cara keberadaan sesuatu---karena keberadaan sendiri tidak dapat menjadi suatu genus, seperti yang ditunjukkan dalam tubuh artikel ini; Tapi, kata itu juga menandakan esensi yang memiliki cara keberadaan yang demikian---yaitu, ada dalam dirinya sendiri; Namun, keberadaan ini bukanlah esensinya. Dengan demikian jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam genus substansi.

Tanggapan terhadap Keberatan 2 : Keberatan ini mengacu pada sarana ukur proporsional yang harus homogen dengan apa yang diukur. Sekarang, Allah bukanlah sarana ukur yang sebanding dengan apapun. Namun, Ia tetap disebut sebagai sarana ukur terhadap segala sesuatu, dalam pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki keberadaan dalam cara menyerupai keberadaan-Nya.



>>Selanjutnya